Thursday, June 1, 2017

MAAFKANLAH KAMI BHINNEKA TUNGGAL IKA





Sebagai Bangsa yang memiliki 17.508 pulau dan 1.340 suku membuat Indonesia dikenal sebagai bangsa yang beragam atas suku dan budaya nya. Dengan itu para pendiri bangsa menciptakan Bhinneka Tunggal Ika sebagai motto bangsa ini, berharap antar saudara sebangsa dan setanah air menghapuskan rasa “lebih unggul dibanding suku, ras, golongan maupun agama lain” karena perbedaan tersebut diharapkan sebagai alat pemersatu bangsa bukan  malah sebaliknya.  Perlu digaris bawahi bahwa kekayaan budaya yang kita miliki merupakan proses dari hasil asimilasi, menerima perbedaan budaya, menghasilkan budaya campuran dan akhirnya menjadi identitas bangsa yang baru, bernama Indonesia.   Sulit untuk dijelaskan perihal suku mana yang paling lama menduduki tanah air ini atau seringkali disebut sebagai pribumi. Menurut sejarah terbentuknya, Bumi Nusantara dulunya tanah yang tidak bertuan sehingga banyak manusia dari berbagai rumpun mengklaim bahwa tanah ini milik mereka.  Pada hakikatnya, semua manusia yang ada di Indonesia adalah pendatang.  Jadi, warga keturunan Melayu (Austronesia), Papua (melanisia),  Arab (semit), India (dravida, tamil), dan Tionghoa (sino-tibrusetan) merupakan pendatang.  Sudah jelas tidak ada gunanya merasa dan berkelakar bahwa kita merupakan pribumi asli karena kita tergolong kaum mayoritas dan suku minoritas lain yang hidup di Indonesia merupakan imigran belaka.
Ironisnya kerap kali terjadi, akhir-akhir ini banyak perdebatan khususnya antar suku, ras, golongan, maupun agama berkaitan dengan topik; siapa kaum mayoritas serta golongan dan agama manakah yang paling baik di Indonesia.  Dan mendadak motto Bhinneka Tunggal Ika sudah luntur di benak kebanyakan masyarakat Indonesia. Munculah pandangan atau sikap yang terlalu mengagungkan pihak yang kita dukung sehingga kita akan menyangkal kekurangan-kekurangan yang ada,  berkelakar akan kelebihan kita dengan konsekuensi kita selalu merasa benar, apapun kelebihan dan kekurangan lawan, juga fakta-fakta yang timbul di lapangan antarpihak yang berseteru menjadi bias.


Pandangan – pandangan yang dimaksud sering disebut antara lain:

  1. Chauvinisme : kesetiaan ekstrim terhadap suatu pihak atau keyakinan tanpa mau mempertimbangkan pandangan alternative ( sangat fanatik terhadap pandangan tersebut)
  2. Etnosentris : Cenderung memandang rendah orang-orang yang di anggap asing, lalu mengukur budaya asing dengan budaya nya sendiri, (menganggap kebudayaan kelompoknya adalah yang paling baik.The Authoritarian Personality, Adorno (1950) menemukan bahwa orang-orang etnosentris cenderung kurang terpelajar, kurang bergaul dan pemeluk agama yang fanatik
  3. Primodialisme : Perasaan kesukuan yang berlebihan.  Terlalu mengunggulkan budaya golongan atau suku
Disamping kelebihan-kelebihan semua pandangan diatas, mereka memiliki kesamaan dalam kekurangan, yaitu dapat memecah persatuan dan kesatuan antar golongan, agama dan ras serta berkebalikan dengan semangat sila ke-3 dalam pancasila.  Apabila sebagian kalian merasa mempunyai pandangan tersebut layaknya mulai harus mengkritisi apakah pandangan yang kalian anut menimbulkan kelebihan atau malah sebaliknya.  Pandangan bahwa kaum mayoritas merupakan penduduk asli (pribumi) Indonesia dan harus lebih diistimewakan di banding kaum minoritas lainya harus segera dihapuskan.  Kita baiknya mengingat bahwa penggolongan yang jelas, perihal siapa sebenarnya penduduk asli Indonesia adalah sia-sia saja.

Selain masalah suku dan golongan, agama juga merupakan isu yang sering dibahas dan menimbulkan permasalahan di negeri kita ini. Munculah berbagai pemberontakan; pemberontakan atas pembelaan agama,  saling mengunggulkan agama masing-masing,  fanatisme berlebihan akan suatu agama, dan pembelaan atas kekuasaan Tuhan yang merupakan hal yang ganjil karena sudah  jelas, seperti salah satu judul buku Gus Dur , “Tuhan tidak perlu di bela”.  Tuhan akan tetap Esa dan Maha atas segalanya.
Kita secara sadar harus mengakui bahwa agama merupakan warisan dari orang tua ataupun lingkungan sekitar kita yang mendidik kita sejak kecil.  Dan tidak bisa memilih untuk lahir dari orang tua maupun lingkungan yang beragama tertentu.  Anggapan bahwa manusia yang terlahir sebagai pemeluk agama yang berbeda dengan agama kita akan masuk neraka adalah hal yang sangat tidak masuk akal.  Sebagai  manusia yang terpelajar Kebencian-kebencian maupun tuduhan-tuduhan seperti itu harus dihapuskan.
Pada awalanya kabanyakan orang menganggap membahas persoalan agama hendaknya tidak dibahas di depan umum, ataupun lebih baik menjadi konsumsi pribadi (lingkup kecil) saja, karena merupakan topik yang teramat sensitive untuk dibahas.  Padahal seharusnya dialektika tidak boleh di bendung,  semakin kita berdiam diri, menimbun permasalahan dengan bersifat apatis terhadap isu yang ada semakin memperburuk keadaan.
Sering kita temui kejadian-kejadian janggal yang kita alami sehari-hari akibat mengkotak-kotakan agama yang terlalu berlebihan.
 Seperti kalimat untuk memimpin doa, “Berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing” ini merupakan hal yang umum namun janggal apabila diresapi lebih dalam, karena kecil kemungkinan bahwa seorang umat beragama akan berdoa dengan menggunakan tata cara doa agama lain.  Dan apabila hal tersebut terjadi harusnya itu tidak dilarang, karena intinya sama, yaitu berdoa kepada Tuhan, mungkin hanya memiliki perbedaan dalam penyebutan maupun susunan kata.
Perihal toleransi,  di Bulan Ramadhan banyak sekali tempat makan yang harus ditutupi, dengan alasan menghargai atau toleransi terhadap umat yang berpuasa.  Harusnya, apabila sudah berniat berpuasa untuk Tuhan tidak mungkin semudah itu tergiur untuk membatalkan dengan alasan melihat makanan yang terpampang di tempat makan.  Semua umat yang berpuasa harus memahami sepenuhnya bahwa puasa bukan sekedar menahan makan dan minum.  Itu tidak sebanding dengan toleransi yang diberikan oleh pemeluk agama lain yang kesulitan mencari makanan karena banyak tempat makan yang ditutup-tutupi, harus makan ditempat yang berenda agar tidak terlihat oleh mata umat yang sedang berpuasa.  Akibat toleransi, memakan makanan terlihat seperti sedang melakukan dosa yang besar sehingga harus ditutupi sebisa mungkin.
Kebanyakan orang mungkin menganggap fanatisme tersebut hal yang wajar dengan dalih kecintaan terhadap agamanya.  Padahal fanatisme akan membawa manusia kepada dampak buruk dari pandangan-pandangan seperti etnosentris. Presiden Jokowi pernah mengeluhkan bahwa bangsa lain sudah mengembangkan teknologi canggih; bagaimana cara menyembuhkan penyakit hingga meneliti apakah Planet Mars layak untuk ditinggali, dan faktanya negeri nya sendiri masih berkecamuk dengan permasalaahan Suku, Agama dan ras.


Peran pemuda sangat dibutuhkan karena merupakan tombak-tombak kebangkitan nasional.  Sejarah sudah membuktikan bahwa pendirian Bangsa kita ini sangat dipengaruhi oleh gerakan pemuda yang terpelajar, pemuda yang memiliki semangat yang membara untuk mempejuangkan kehidupan bangsa menjadi lebih baik.
Kita sebagai pemuda yang mempunyai peran dalam perekat kemajemukan bangsa dilarang untuk menutup telinga atas isu-isu terpecah belahnya suku agama dan ras yang terjadi dan menganggap hal-hal tersebut akan berlalu seiring berjalannya waktu dengan dalih tidak memiliki waktu untuk memikirkan polemik yang ada karena harus berfokus pada pelajaran disekolah maupun diperkuliahan.  Hal tersebut sangat bertentangan dengan fungsi menuntut ilmu di sekolah dan juga berkebalikan dengan prinsip Tridharma Perguruan Tinggi.  Hendaknya kaum terpelajar termasuk mahasiswa harus tergerak sebagai tombak pencegah perpecahan bangsa.
Pemuda terpelajar harus memiliki dasar pengetahuan (benchmark) yang kuat dalam mencari solusi dari permasalahan yang terjadi.  Banyak membaca dari sumber-sumber yang dapat dipertanggungjawabkan isinya, entah itu dari tumpukan buku, koran, serta majalah, dalam bentuk fisik maupun elektronik.  Kecanggihan teknologi akan menghapus alasan bahwa mencari sumber bacaan itu sulit dan mahal.  Semakin banyak membaca dengan variasi sumber yang berbeda membuat semakin mengerti dan dapat menyaring mana pemberitaan maupun sumber yang kredibel, serta pemikiran kita akan terbuka dengan apa yang terjadi dalam permasalahan bangsa saat ini.
Pemuda terpelajar tidak sepatutnya untuk membenci hal yang tidak ia pahami (pelajari). Contoh:  Seorang teman saya pernah pernah berkata bahwa saya harus hati-hati dalam memilih buku bacaan karena akan membuat saya memiliki pandangan pluralisme, sejenak saya berfikir bagaimana bisa dia mengkritik buku bacaan saya apabila dia tidak suka membaca dan tidak mengerti apa isi buku bacaan saya, lalu saya mendapat jawaban setelah berfikir sejenak, bahwa dia pun tidak mengerti apa arti pluralisme itu sendiri.
Seseorang boleh mengkritisi suatu hal ketika ia memahami permasalahan yang sedang ia dalami di bidang tersebut.  Disinilah racun-racun yang sangat rentan menyerang para pemuda saat ini.  Banyak pemuda yang memiliki dasar pengetahuan yang dangkal namun sudah berani berkelakar dan merasa kaum  (pendapat) merekalah yang paling benar.  Mempunyai pemikiran tertutup dan tidak adanya kemauan untuk mempelajari banyak hal adalah titik keruntuhan dari peran pemuda.
“Pikiran itu seperti parasut, hanya berfungsi ketika terbuka” – John Dewer